Senin, 12 April 2010

asal mula ford

Awal Mula Perusahaan Mobil Toyota

Pada awalnya, perusahaan mobil Toyota (Toyota Motor Corporation) adalah sebuah perusahaan yang dikembangkan dari perusahaan produsen mesin tenun milik Keluarga Toyoda di Jepang, yang bernama Automatic Loom Works, didirikan pada tahun 1926 oleh Sakichi Toyoda. Pada masa itu, mesin tenun buatan Toyoda yang “bebas kesalahan” (fool proof) menjadi model yang paling populer, hingga pada tahun 1929, Kiichiro Toyoda, putra Sakichi Toyoda, merundingkan penjualan hak paten mesin tenunnya dengan Platt Brothers (produsen utama peralatan tenun) senilai 100.000 Poundsterling. Lalu pada tahun 1930, dengan menggunakan modal tersebut, Sakichi Toyoda mulai membangun Toyota Motor Corporation. Kiichiro Toyoda lalu meneruskan pembangunan perusahaan Toyota Automotive Company berdasarkan filosofi dan pendekatan manajemen Sakichi Toyoda, dengan ditambah hasil inovasinya sendiri. Sebagai contoh, Sakichi Toyoda adalah penemu Jidoka yang menjadi salah satu dari dua pilar TPS di kemudian hari, sedangkan Kiichiro Toyoda adalah menyumbangkan konsep Just-In-Time pada pilar TPS yang lain.

Selama tahun 1930-an, Toyota Motor Corporation membangun perusahaannya dengan membuat truk-truk sederhana. Awalnya, perusahaan ini memproduksi produk-produk berkualitas rendah dengan teknologi yang sangat rendah pula (sebagai contoh adalah memasang badan mobil di atas batang kayu), dan hanya sedikit sukses. Pada masa itu pula, para pemimpin Toyota melakukan kunjungan ke ke pabrik Ford dan General Motors (GM) di AS untuk mempelajari jalur perakitan mereka dengan membaca buku Henry Ford, Today and Tomorrow (1926). Mereka menguji sistem ban berjalan, mesin pemrosesan yang presisi, dan ide mengenai skala ekonomi pada produksi mesin tenun mereka. Bahkan sebelum Perang Dunia II, Toyota telah menyadari bahwa pasar mobil di Jepang terlalu kecil, dan permintaan terlalu terbagi-bagi untuk mendukung volume produksi yang besar seperti yang dilakukan di AS (satu jalur mobil Ford di AS bisa memproduksi 9.000 unit per bulan, sementara Toyota hanya memproduksi sekitar 900 unit per bulan, dengan demikian Ford 10 kali lebih produktif dari Toyota).

Tantangan untuk Taiichi Ohno

Dalam perjalanan membangun perusahaan mobil Toyota, Perang Dunia II terjadi, dan Jepang kalah. Amerika, sebagai negara pemenang dalam Perang Dunia II, pada saat itu menyadari bahwa Jepang akan memerlukan truk dalam jumlah besar untuk membangun kembali negaranya yang hancur karena perang. Amerika lalu membantu Toyota untuk memulai memproduksi truk kembali. Pada tahun 1950-an, Jepang mengalami inflasi yang sangat tinggi, di mana uang menjadi tidak berharga serta sangat sulit untuk mendapatkan pembayaran dari konsumen. Sebagian besar industri di Jepang hancur dan pasokan untuk berproduksi mencapai titik nol. Namun, suatu hari, Taiichi Ohno, seorang manajer pabrik di Toyota, mendapatkan tugas dari Eiji Toyoda, presiden direktur Toyota Motor Manufacturing yang juga sepupu Kiichiro Toyoda. Tugas Taiichi Ohno adalah untuk meningkatkan proses manufaktur Toyota agar dapat menyamai tingkat produktivitas Ford. Tugas tersebut tampak sangat mustahil untuk dilakukan mengingat kondisi Jepang pada saat itu, dan kondisi Toyota sangat jauh berbeda dengan kondisi Ford di AS. Ford memiliki banyak uang dan pasar AS serta pasar internasional yang luas, sedangkan Toyota tidak memiliki uang dan hanya beroperasi di negara kecil. Ford memiliki sebuah sistem supply chain yang lengkap, sedangkan Toyota tidak. Sistem produksi massal Ford juga dirancang untuk membuat sebuah model yang terbatas dalam kuantitas yang besar. Sebaliknya, Toyota perlu memproduksi berbagai jenis model dalam volume kecil, dengan menggunakan jalur perakitan yang sama, karena permintaan konsumen di pasar kendaraan mereka terlalu rendah untuk dapat menggunakan satu jalur perakitan hanya untuk satu jenis kendaraan. Dengan demikian, Toyota perlu melakukan berbagai penyesuaian pada proses manufaktur Ford untuk mencapai secara simultan kualitas yang tinggi, biaya yang rendah, lead time yang singkat, dan flesksibilitas.

Sebenarnya, tugas dari Eiji Toyoda bagi Taiichi Ohno adalah untuk “mengejar produktivitas Ford” bukan berarti perusahaan harus bersaing langsung dengan Ford, tetapi Ohno hanya perlu berfokus dalam meningkatkan manufaktur Toyota untuk pasar Jepang yang terlindungi. Selanjutnya, yang dilakukan oleh Ohno adalah mempelajari pesaing (Ford) dengan melakukan kunjungan selanjutnya ke pabrik Ford di AS. Ohno juga mempelajari buku Henry Ford, Today and Tomorrow. Pada akhirnya, salah satu yang menurut Ford perlu dikuasai oleh Toyota adalah proses produksi yang mengalir secara kontinu, sesuai dengan jalur perakitan bergerak milik Ford. Henry Ford telah memecahkan tradisi produksi pengrajin dengan membentuk paradigma produksi massal untuk memenuhi kebutuhan pada awal abad ke-20. Sebuah kunci keberhasilan dari produksi massal adalah perkembangan dari mesin pemrosesan yang presisi dan komponen yang dapat dipertukarpasangkan. Dengan menggunakan prinsip gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori Frederick Taylor, Ford juga sangat bergantung pada Time Study, spesialisasi tugas pada para pekerja, dan pemisahan antara perencanaan yang dilakukan oleh para insinyur dan pelaksanaan yang dilakukan oleh para pekerja.

One Piece Flow

Dalam buku Today and Tomorrow, Ford juga menekankan akan pentingnya menciptakan aliran proses yang tidak terputus sepanjang proses, menstandarisasikan proses, dan menghilangkan pemborosan. Walaupun Ford telah mengemukakan poin-poin penting tersebut, perusahaannya sendiri tidak selalu mempraktikannya. Perusahaan Ford menghasilkan jutaan Model T berwarna hitam dan kemudian Model A dengan menggunakan metode produksi batch yang penuh dengan proses pemborosan, yang membentuk tumpukan persediaan barang dalam proses di sepanjang supply chain. Toyota memandang hal itu sebagai kekurangan yang melekat dalam sistem produksi massal Ford. Namun, perusahaan Toyota bertekad menggunakan ide orisinil Ford mengenai aliran material yang tidak terputus, untuk mengembangkan sistem one-piece-flow yang secara fleksibel dan efisien dapat diubah sesuai permintaan pelanggan.

Just In Time

Selain dari Ford, TPS juga meminjam banyak ide dari AS, salah satu ide yang penting adalah konsep pull-system, yang diilhami oleh supermarket-supermarket di AS, yaitu penggantian barang di rak setiap kali barang tersebut tinggal tersisa sedikit. Hal ini berarti penggantian barang dipicu oleh konsumsi. Apabila diaplikasikan ke lantai pabrik, hal ini berarti bahwa Langkah-1 dalam sebuah proses sebaiknya tidak membuat (mengganti) komponen sampai proses berikutnya (Langkah-2) menghabiskan pasokan yang dibuat oleh Langkah-1. Pull-system inilah yang menjadi dasar dari Just-In-Time (JIT). JIT merupakan serangkaian prinsip, alat, dan teknik yang memungkinkan perusahaan memproduksi dan mengirim produk dalam kuantitas kecil, dengan lead time yang singkat, untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang spesifik. Secara ringkas, dapat dikatakan JIT menyediakan barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat.

Kaizen

Toyota juga mendalami ajaran pelopor kualitas Amerika, W. Edwards Deming, yang memberikan seminar produktivitas dan kualitas di Jepang, serta mengajarkan bahwa dalam sistem bisnis pada umumnya, memenuhi dan melampaui tuntutan pelanggan merupakan tugas setiap orang dalam sebuah organisasi. Deming juga memperluas definisi “pelanggan” dengan memasukkan pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Setiap orang atau langkah dalam suatu jalur produksi atau proses bisnis diperlakukan sebagai “pelanggan” dan dipasok dengan apa yang benar-benar diperlukannya, tepat pada waktu yang diperlukan. Ini adalah asal-usul prinsip Deming, yaitu “proses berikutnya adalah pelanggan”. Selain itu, Deming mendorong orang Jepang untuk mengadopsi sebuah pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah yang kemudian dikenal dengan Deming Cycle atau Plan-Do-Check-Action (PDCA), sebuah dasar peningkatan berkesinambungan, yang dalam istilah Jepang disebut dengan “kaizen“, dan merupakan proses membuat perbaikan kecil-kecil, seberapapun kecilnya, dan mencapai tujuan lean untuk menghilangkan semua pemborosan yang menambah biaya tanpa menambah nilai.

Kaizen adalah filosofi total yang mendorong kesempurnaan dan mempertahankan TPS dalam kehidupan sehari-hari. Kaizen mengajarkan keterampilan kepada setiap orang untuk bekerja secara efektif dalam kelompok-kelompok kecil, memecahkan masalah, mendokumentasikan dan meningkatkan proses, mengumpulkan dan menganalisis data, dan memanajemeni diri sendiri dalam sebuah kelompok. Kaizen mendorong pengambilan keputusan (atau penyampaian usulan) sampai ke tingkat pekerja, dan menuntut pembahasan secara terbuka dan konsensus dalam kelompok sebelum mengimplementasikan keputusan.

Lean Production

Ohno beserta timnya kembali dari perjalanan ke AS dengan sebuah sistem manufaktur yang baru, sistem yang bukan hanya ditujukan untuk satu perusahaan dengan pasar tertentu dan budaya tertentu, tetapi Ohno dan timnya telah menciptakan sebuah paradigma baru dalam manufaktur atau pemberian jasa, yaitu suatu cara baru untuk melihat, memahami, dan menerjemahkan apa yang terjadi dalam proses produksi, yang dapat mendorong mereka jauh melampaui sistem produksi masal.

Pada tahun 1960-an, TPS menjadi filosofi kuat yang dapat dipelajari untuk digunakan oleh semua jenis bisnis dan proses, tetapi hal tersebut memerlukan waktu. Toyota lalu mengambil langkah pertama untuk menyebarluaskan “lean” dengan mengajarkan prinsip TPS kepada para pemasoknya secara sungguh-sungguh. Namun kekuatan TPS sebagian besar tidak diketahui oleh perusahaan lain di luar Toyota dan para pemasoknya hingga krisis minyak terjadi pada tahun 1973 yang menyebabkan dunia mengalami resesi global, dan Jepang merupakan salah satu negara yang paling terpukul. Industri Jepang sedang terjun bebas dan satu-satunya yang dapat dilakukan oleh hampir semua perusahaan adalah bertahan hidup. Namun pemerintah Jepang mulai menyadari ketika Toyota keluar dari krisis dan kembali memperoleh profitabilitasnya lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain. Pemerintah Jepang mengambil inisiatif untuk meluncurkan seminar mengenai TPS, walaupun disadari bahwa hal tersebut hanya merupakan sebagian kecil dari apa yang membuat Toyota sukses.

Dalam buku Lean Thinking, James Womack dan Daniel Jones mendefinisikan lean manufacturing sebagai suatu proses yang terdiri dari lima langkah, yaitu mendefinisikan nilai bagi pelanggan, menetapkan value stream, membuatnya “mengalir”, “ditarik” oleh pelanggan, dan berusaha keras untuk mencapai yang terbaik. Dengan demikian, untuk menjadi sebuah perusahaan manufaktur yang lean, diperlukan suatu pola pikir yang berfokus untuk membuat produk mengalir melalui proses penambahan nilai tanpa interupsi (one-piece-flow), suatu sistem tarik yang berawal dari permintaan pelanggan, dengan hanya menggantikan apa yang diambil oleh proses berikutnya dalam interval waktu yang singkat, dan suatu budaya di mana semua orang berusaha keras melakukan peningkatan secara terus menerus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support Car luxury with vio theme
mobil templates Blogger